TUGAS KELOMPOK
NAMA KELOMPOK:
1. ANNIDA NURUL ISLAMI (21213117)
2. DIAH KARTIKA SARI (22213350)
3. FAUZIYYAH JULIYASARI (23213337)
4. INDRI YUNIA SARA (24213408)
5. MARETA (25213271)
6. RANGGA PUTRA PRATAMA (27213276)
7. SRI INDAH WAHYUNI (28213615)
8. VIANY LINGGA REVI (29213121)
Bank Century (sebelumnya dikenal
dengan nama Bank CIC) didirikan pada Mei 1989. Pada 6 Desember 2004 Bank Pikko
dan Bank Danpac menggabungkan diri ke Bank CIC. Pada 28 Desember 2004, Bank CIC
berganti nama menjadi Bank Century. Sejak 21 November 2008, Bank Century
diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan berubah nama menjadi PT.
Bank Mutiara Tbk. Kasus Bank Mutiara terhadap nasabah muncul karena adanya
pemalsuan Reksadana yang bekerja sama dengan PT. Antaboga Delta Sekuritas.
Sebelumnya nasabah telah menyimpan
uang di Bank Mutiara yang dulunya bernama Bank Century. Setelah itu, pihak bank
menawarkan suatu produk baru yang bernama "dana tetap terproteksi".
Produk yang merupakan hasil kerjasama dengan Antaboga ini menurut Bank Mutiara
hampir sama dengan deposito, di mana nasabah bisa mengambil uang tersebut dalam
jangka waktu tertentu. Bank Century menawarkan produk investasi reksadana
Antaboga kepada nasabah dengan iming-iming imbalan bunga 10-12 persen setahun.
Namun, pada akhirnya saat ingin melakukan pencairan uang pada tahun 2008,
tiba-tiba tabungan para kliennya tidak dapat diuangkan.
Karena uang para nasabah tidak juga
kembali. Nasabah Bank Mutiara melayangkan gugatan ke pengadilan di sejumlah
daerah. Sejumlah Nasabah di Jakarta gugat PT Bank Mutiara terkait kasus
investasi yang melibatkan PT Antaboga Delta Sekuritas. Sebanyak 20 nasabah
melayangkan gugatan yang meminta ganti rugi Rp 26,3 miliar.
Kuasa Hukum penggugat, Herkus
Wijayadi mengatakan simpanan uang para nasabah di Bank Mutiara ternyata menjadi
reksadana. "Awalnya nasabah tahu bahwa simpanan uang itu deposito,
ternyata produk baru yang ditawarkan reksadana" ujar Herkus di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Selasa (17/2).
Gugatan yang terdaftar dengan nomor
register 718/PDT.G/2014/PN.JKT.SEL ini didasarkan oleh Undang-undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Herkus menilai, pihak Bank
tidak beritikad baik dalam memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur. Dalam
gugatan nasabah, Herkus menyebutkan bahwa Bank Mutiara melanggar Pasal 7 UUPK
mengenai pemberian informasi mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa
serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Atas gugatan
tersebut, pihaknya menuntut pengembalian uang senilai Rp16,3 miliar ditambah
kerugian imateriil Rp 10 miliar.
Di Solo terdapat 27 nasabah yang
menggugat Bank Mutiara ke Pengadilan Negeri Surakarta. Dan di Yogya sebanyak 30 nasabah yang melayangkan gugatan.
Di Solo dan Yogya gugatan dimenangkan oleh nasabah. Meskipun demikan pihak Bank
Mutiara tetap enggan untuk mengembalikan uang nasabah.
Menurut Mahendradatta selaku kuasa
hukum Bank Mutiara yang ditemui di Solo menuturkan bahwa pihaknya tidak akan
membayar sepeserpun karena mereka bukan nasabah Bank Century, melainkan PT
Antaboga Delta Securitas Indonesia. “Tidak perlu menagih-nagih lagi karena
tidak akan kami bayar. Kami pakai dasar kasus di Surabaya, MA memutuskan Bank
Mutiara tidak perlu membayar gugatan nasabah.” papar Mahendradatta, Rabu
(28/11/2012).
Analisis:
Sebelum menganalisis kasus
tersebut, ada baiknya terlebih dahulu melihat duduk persoalan dari sengketa
antara Bank Mutiara dan nasabah. Bank Mutiara, yang sebelum diselamatkan oleh
pemerintah pada tahun 2008 bernama Bank Century, menawarkan sebuah produk
perbankan yang diklaim mirip deposito, dengan imbal bunga yang cukup tinggi,
kisaran 10-12 persen per tahun. Menariknya, program Bank Century tersebut
adalah hasil kerjasama dengan PT. Antaboga Delta Sekuritas, yang pada akhirnya
disalahkan oleh Bank Century dan meminta nasabah agar menagih ke pihak
Antaboga. Pihak Bank Mutiara mengklaim bahwa nasabah yang menuntut ganti rugi
dan kejelasan dari mereka tersebut merupakan nasabah Antaboga, bukan nasabah
Bank Mutiara.
Bila melihat duduk soal di
atas, maka sudah jelas, ada perbedaan persepsi antara Bank Mutiara dengan
nasabah. Konsekuensinya, bila pembicaraan sudah tidak bisa dijadikan solusi, karena
kedudukan kedua belah pihak berada di negara hukum, langkah hukumlah yang mesti
ditempuh kedua belah pihak. Setelah kalah di tingkat Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi, Bank Mutiara pun mengajukan kasasi kepada MA untuk menyelesaikan
kasus tersebut. Naas bagi Bank Mutiara, mereka pun kalah di tingkat kasasi.
Mahkamah Agung meminta agar Bank Mutiara mengembalikan dana para nasabah secara
tunai dan sekaligus kepada para penggugat sejumlah Rp35,437 miliar dan ganti
rugi sebesar Rp5,675 miliar.
Menariknya, Bank Mutiara
masih menempuh jalur hukum luar biasa berupa perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dalam menyikapi putusan
MA tersebut. Bank Mutiara merasa bahwa mereka dan Antaboga merupakan entitas
terpisah, dan ketika itu hanya memasarkan produk dari Antaboga, sebagai bentuk
dari kerjasama keduanya. Sehingga dalam kasus ini, mereka merasa sebagai pihak
ketiga yang dirugikan dari sengketa tersebut.
Apabila ditelaah dari
kacamata kami, dari kasus di atas, apabila memang betul bahwa produk tersebut
bukan merupakan produk asli Bank Mutiara, pihak Bank dapat secara jelas
menginformasikan kepada nasabah bahwasanya pembeli produk akan menjadi nasabah
PT. Antaboga Delta Sekuritas, bukan nasabah Bank Century. Pihak Bank Mutiara
pun mesti menjelaskan secara rinci, risiko-risiko yang dapat terjadi di masa
yang akan datang, mengingat Bank Mutiara dan Antaboga merupakan entitas yang
berbeda dan terpisah secara hukum. Namun, hal tersebut tidak dilakukan karena
Bank Mutiara pada saat itu disinyalir ikut meraup untung atas kerjasamanya,
serta tidak memikirkan risiko tersebut ke depan. Bahwa nasabah tahu mereka
membeli produk perbankan dari mereka. Bahwa nasabah tidak tahu menahu produk
ini hanyalah hasil kerjasama antara Bank Mutiara dengan Antaboga, dan mereka
adalah nasabah Antaboga, bukan nasabah Bank Mutiara.
Bank
Mutiara tidak hanya melakukan pelanggaran kode etik profesi tetapi secara
bersamaan telah melanggar etika bisnis, di mana seharusnya kode etik ini harus
dipenuhi dan ditaati bahkan dijadikan pegangan. Dalam kasus tersebut juga,
menurut kami, Bank Mutiara melanggar beberapa prinsip dari etika profesi.
Pertama, Bank Mutiara melanggar prinsip tanggung jawab profesi di mana
seharusnya mereka bertanggung jawab sebagai organisasi yang senantiasa
menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam setiap kegiatan yang
dilakukannya. Sebagai pihak yang profesional, Bank Mutiara mempunyai tanggung jawab yang begitu
penting kepada para
nasabahnya. Mereka bertanggung jawab kepada semua pemakai baik produk maupun jasa dari
bank tersebut. Diakui atau tidak, saat para nasabah membeli produk tersebut,
mereka tidak mengungkapkan bahwa produk tersebut bukan produk mereka, karena
mereka yang memasarkannya. Mereka tidak mengungkap secara gamblang, kepada
siapa nasabah meminta pertanggung jawaban nantinya apabila terjadi risiko yang
tidak diinginkan.
Kedua, Bank Mutiara melanggar prinsip integritas. Integritas
adalah prinsip yang melandasi kepercayaan publik. Pada
kasus Bank Mutiara terhadap Nasabah tersebut pihak bank bersikeras untuk tidak
membayar sepeserpun kepada 27 nasabah yang menggugat bank tersebut. Seharusnya
bank tersebut berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan
kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas
profesionalisme, karena satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan
tanggung jawab kepada publik. Dengan adanya kejadian ini dapat memberikan imbas
kepada bank-bank lain, dimana kasus ini menyebabkan hilangnya kepercayaan
publik terhadap sistem perbankan nasional, sehingga kasus Bank Mutiara ini
tidak hanya merugikan bank itu sendiri melainkan dapat merugikan dunia
perbankan Indonesia.
Ada lima prinsip etika bisnis
menurut Keraf (1998), diantaranya prinsip otonomi, prinsip kejujuran, prinsip
tidak berbuat jahat dan berbuat baik, prinsip keadilan, dan prinsip hormat pada
diri sendiri. Dalam hal ini, Bank Mutiara tidak memenuhi prinsip otonomi, yang
mana perusahaan harus bertanggung jawab terhadap konsumennya. Nasabah hanya
ingin Bank Mutiara bertanggung jawab terhadap masalah dana reksadana yang tidak
dapat dicairkan agar diganti. Kedua, prinsip kejujuran yang artinya melakukan
pemenuhan syarat - syarat perjanjian atau kontrak, mutu barang atau jasa yang
ditawarkan, dan hubungan kerja dalam perusahaan. Prinsip ini paling problematik
karena masih banyak pelaku bisnis melakukan penipuan. Seharusnya Bank Mutiara
mengatakan dengan sebenar – benarnya produk yang ditawarkan, jangan membohongi
nasabah hanya karena kepentingan pribadi. Ketiga, prinsip tidak berbuat jahat
dan berbuat baik yang mengarahkan agar kita secara aktif dan maksimal berbuat
baik atau menguntungkan orang lain, dan apabila hal itu tidak bisa dilakukan,
kita minimal tidak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain atau mitra
bisnis. Di sini Bank Mutiara tidak
mau mengganti dana nasabah nya yang mengakibatkan nasabah mengalami kerugian.
Keempat, prinsip keadilan dimana menuntut agar kita memberikan apa yang menjadi
hak seseorang di mana prestasi dibalas dengan kontra prestasi yang sama
nilainya.
Dari
kasus diatas merupakan tindakan tidak etis yang dimaksudkan di sini adalah
tindakan melanggar etika yang berlaku dalam lingkungan kehidupan tersebut.
Faktor yang membuat banyaknya pelanggaran etika dikarenakan alasan sebagai
berikut yang pertama kebutuhan individu, yang merupakan hal utama yang
mempengaruhi seseorang untuk melakukan pelanggaran. Kemudian tidak adanya
pedoman, ketika masyarakat dihadapkan pada persoalan yang belum jelas
aturannya, maka mereka melakukan intrepretasi sendiri atas persoalan yang
dialami. Faktor lainnya seperti perilaku dan
kebiasaan individu, kebiasaan yang terakumulasi dan tidak dikoreksi akan dapat
menimbulkan pelanggaran. Kemudian, lingkungan yang tidak etis, lingkungan yang
memiliki daya dukung moral yang buruk, akan mampu membuat seseorang menjadi
menyimpang perilakunya untuk tidak taat terhadap pedoman yang berlaku. Faktor yang
terakhir yaitu perilaku orang yang ditiru. Dalam hal ini, ketika seseorang
melakukan pelanggaran terhadap etika, dapat juga karena dia mengimitasi
tindakan orang.
Atas pemaparan di atas, menurut hemat kami, ada dua
solusi yang dapat diambil dalam menyelesaikan kasus ini. Pertama, pihak Bank
Mutiara harus mematuhi keputusan hukum dengan membayar hak 27 nasabah yang
menuntut tanggung jawab tersebut. Untuk membayar hak 27 masabah ini, menurut kami, Bank
Mutiara dapat melakukan 3 opsi yaitu : Opsi pertama, menggunakan kas Bank Mutiara. Meskipun bank
ini merupakan bank rekap milik negara, namun Bank Mutiara bukanlah aset negara
dan dapat bersikap atas dasar pertimbangan korporasi. Opsi kedua, menggunakan
suntikan dana LPS ke Bank Mutiara. Ini memungkinkan karena LPS merupakan
pemegang saham Bank Mutiara. Jika modal LPS berkurang, LPS bisa meminta
suntikan modal ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, dari APBN.
Uang APBN itu harus diganti dengan dana hasil penyitaan aset mantan pemegang
saham Bank Century (Mutiara) yang tersebar di dalam dan luar negeri. Opsi
ketiga, memakai pembayaran dari hasil penyitaan aset eks pemilik saham Bank
Century (Mutiara).
Kedua, apabila memang pihak Bank Mutiara bersikeras bahwa
nasabah-nasabah tersebut bukanlah nasabah mereka, melainkan nasabah PT.
Antaboga Delta Sekuritas, pihak Bank yang sebelumnya tidak mengkomunikasikan
hal tersebut kepada nasabah mesti tetap bertanggung jawab dengan berkomunikasi
dengan pihak Antaboga agar dapat menyelesaikan kasus ini secara bersama-sama.
Dua hal tersebut selain sebagai bentuk pertanggung jawaban pihak Bank Mutiara
terhadap publik, di tengah upaya pemulihan kepercayaan publik yang telah jatuh
pada tahun 2008 lalu, juga sebagai bentuk kepatuhan Bank Mutiara terhadap
putusan hukum yang berlaku.
Sumber:
https://tempo.co/read/news/2012/06/25/087412831/kasasi-kalah-bank-mutiara-harus-bayar-nasabah
http://atikaa08.student.ipb.ac.id/2010/06/18/permasalahan-bank-century-dan-solusinya/